
Setiap kali aku dan Adya pergi jalan-jalan ke mall sering kali saat lewat gerai pakaian dia selalu bilang, “bapak tuh pakaiannya dikit, tapi sampai sekarang masih awet padahal belinya pas jaman aku masih di Salatiga” terus dilanjutin “kalo beli yang bagus meskipun mahal dikit tapi awet bla, bla, bla”
Karena mungkin terlalu sering denger dia bilang gitu dan juga pas aku baca-baca tentang minimalism aku berkesimpulan kita akan cenderung lebih memaknai hidup ketika hanya memiliki sedikit barang namun nilai barang itu berdampak banyak.
Kaitannya adalah saat kita membeli barang dengan kualitas bagus sehingga barang itu awet, kita dapat menghemat waktu untuk terus menerus membeli barang yang serupa.
Beli barang A seharga Rp. 150.000 untuk kualitas dengan jangka waktu 2 tahun lebih baik, daripada beli barang B seharga Rp. 100.000 dengan kualitas yang bertahan 1 tahun.
Minimalism mendorong kita untuk memaknai hidup, tidak menyia-nyiakan barang, ruang, waktu, pikiran, tenaga secara percuma dan memanfaatkan nilainya semaksimal mungkin.
Dengan membeli barang yang kualitasnya bagus, kita setidaknya sudah bisa menghemat waktu dan uang. Waktu yang kita gunakan untuk berpikir ketika ada barang rusak dan perlu menggantinya karena barang itu punya value juga termasuk menyia-nyiakan waktu. Nah kita meminimalisir itu terjadi.
Sebagai contohnya, aku 2 bulan lalu membeli jas hujan harga Rp 90.000. Baru aku gunakan 2 kali pemakaian sudah sobek bagian celananya. Aku lalu mikir dan berusaha setidaknya jas hujan itu masih bisa dipakai 10 kali biar setiap pemakaiannya terhitung biaya Rp 9.000.
Setelah jas hujan itu benar-benar tidak bisa dipakai, aku membuangnya lalu beli jas hujan lagi yang lain dengan harga 3 kali lipat dari harga jas hujan sebelumnya, Rp 270.000. Dari sisi kualitas memang beda jauh, kenyamanan saat dipakai, sampai-sampai aku pengen hujan-hujanan pakai jas hujan itu saking enaknya. Dari bahannya juga aku sudah bisa menyimpulkan bahwa barang ini lebih awet dari sebelumnya.
Apakah harus selalu beli yang mahal?
Aku pernah liat sebuah chart lupa apa namanya, yang menjelaskan bahwa setiap jenis produk itu ada harga maksimal dengan kegunaan maksimalnya.
Contohnya, jika kita membeli HP dengan harga 1 juta, pasti kita hanya dapat kualitas yang rendah. Kita naikin lagi jadi 3 juta kualitas yang didapat dari HP tersebut naik, fitur yang disediakan juga sudah menemui kriteria yang kita butuhkan. Mungkin kita sudah cukup membeli HP seharga 3 jutaan, secara grafik sudah bertemu titik harga = titik value yang kita butuhkan. Lalu apa yang terjadi bila kita beli HP seharga 10 juta dengan fitur yang bagus namun tidak kita butuhkan? Jadinya price > value yang kita butuhkan.
Iya benar, dengan HP seharga segitu pasti fiturnya bisa kita manfaatkan untuk bikin konten, tapi ga semua orang pengen bahkan mau jadi konten kreator. Misalkan mau mungkin ga saat itu juga, dan konsep minimalism tidak mengenal kata “just in case”, “misalkan nanti”, “lha nek mengko kirane butuh”.
Jadi metriksnya adalah valuenya, beli barang dengan value tertinggi yang kita butuhkan. Agar yang kita dapatkan barang yang berkualitas namun dengan value dan harga yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kita.
Apa harus terpaku pada brand?
Kalo aku sendiri ga harus, tapi brand bisa dijadikan pertimbangan. Karena brand juga ada harganya, bisa jadi barang dengan kualitas mirip hampir sama secara harga bisa lumayan jauh berbeda. Pilih sesuai selera tapi yang sesuai kantong juga saja. Asal barangnya berkualitas kemungkinan untuk menyesal membeli karena brand harusnya kecil.
Mempertimbangkan hal yang akan kita beli menurutku juga termasuk dalam kebijaksanaan. Biar setelah melakukan pembelian barang yang kita beli menambahkan nilai lebih dan meningkatkan kualitas hidup kita. Asal ga terlalu lama mempertimbangkannya, karena masih banyak hal yang perlu dikerjakan.
Kos Pak Eko,
Gg. Puntodewo, Banguntapan, Bantul
D. I. Yogyakarta